Oleh : Subatrio Saragih.
(Lahir dan beranjak dewasa di Tanjung Saribu, saat ini tinggal di Bandung)
Desa
Dolok Saribu merupakan sebuah desa terpencil. Terletak di kaki sebuah bukit
yang cantik, bukit Simarjarunjung yang di pucuknya terdapat dua tower raksasa.
Berjarak sekitar 50 km dari kota Pematang Siantar. Setiap hari, alat
transportasi umum hanya ada satu minibus yang melayani rute Dolok Saribu –
Pematang Siantar. Jarak dari simpang jalan trans Pematang Siantar – Tigaras
(Simpang Rajani Huta) ke Dolok Saribu sekitar 7 km. Apabila warga yang hendak
keluar kampung ketinggalan bus, maka harus berjalan kaki ke Simpang Rajani Huta
dan selanjutnya naik minibus trayek Pematang Siantar – Tigaras.
Di sepanjang jalan 7 Km dari Simpang Rajani Huta ke Dolok Saribu
terdapat tiga perkampungan; Merek Raja ni Huta, Rajani Huta, Tanjung Saribu dan
kemudian Dolok Saribu. Kondisi jalan dari Simpang Rajani Huta ke Dolok Saribu
sangat rusak parah, dimana sebagai jalan hanya tersisa bongkahan batu-batu
besar. Apabila musim hujan terdapat banyak kubangan-kubangan lumpur di
sepanjang jalan. Dolok Saribu merupakan ujung dari jalan yang bisa dilalui oleh
kendaraan roda empat. Sebab setelah Dolok Saribu terdapat lembah yang sulit
dilalui oleh kendaraan karena kondisi jalan yang rusak parah.
Bukit Simarjarunjung dari Desa Dolok Saribu. |
Tingkat kekerabatan penduduk desa ini masih sangat erat.
Semangat gotong royong masih kuat di dalam jiwa setiap warga. Misalnya untuk
urusan hajatan, warga sudah terbagi dalam kelompok-kelompok yang akan mendapat
giliran sebagai parhobas (panitia pelaksana) apabila ada hajatan di kampung.
Contoh lain adalah pembangunan saluran air bersih ke rumah warga dibangun
dengan swadaya masyarakat.
Profesi sebagian besar penduduk adalah petani, hanya ada
beberapa orang yang berprofesi sebagai guru yang mengajar di Sekolah Dasar.
Sebagai petani, memiliki seekor kerbau merupakan keharusan bagi warga karena
kerbau lah yang difungsikan untuk menarik pedati sebagai alat transportasi
warga ke ladang. Bila dibandingkan dengan penduduk kota memiliki seekor kerbau
kira-kira sama dengan memiliki sebuah mobil.
Kebiasaan di desa ini, setiap pagi sebelum berangkat ke ladang
kaum laki-laki akan berkumpul di warung untuk menikmati secangkir kopi atau
segelas teh. Dan pada sore hari pulang dari ladang akan berkumpul lagi di
warung, namun tidak lagi menikmati secangkir kopi atau segelas teh akan tetapi
arak (tuak). Pada saat inilah proses pertukaran informasi terjadi, diskusi
biasanya sangat hangat. Semua hal bisa dibahas mulai dari harga cabai, pilkada,
Obama, sampai kasus-kasus terkini yang ditayangkan oleh televisi.
Tapi tanpa disangka-sangka desa ini tiba-tiba mengejutkan
publik. Berita tentang pengeroyokan seorang Kapolsek yang berujung pada
kematian telah terdengar dimana-mana. Dalam senyap tiba-tiba desa ini mencuri
perhatian dunia.
Kapolsek Dolok Pardamean yang ditemani tiga orang anak buahnya
melakukan operasi penangkapan juru tulis toto gelap (togel) pada malam hari di
desa Dolok Saribu. Karena kaget, istri juru tulis toto gelap pun berteriak
memanggil warga dengan menyebut para polisi pencuri kerbau. Warga pun
berkerumun dan mengejar polisi yang lari dengan mobilnya. Dan warga menelepon
penduduk kampung sebelah (Merek Rajani Huta) supaya menghadang mobil tersebut
karena mereka masih yakin bahwa itu adalah kawanan pencuri kerbau. Warga Merek
Rajani Huta pun memblokir jalan dengan kereta kerbau.
Karena sudah terhalang, sang Kapolsek mencoba persuasi dan
menyatakan bahwa meraka adalah polisi. Apa lacur, kata “pencuri kerbau” sudah
tertanam di bawah alam sadar warga dan merupakan musuh bersama yang harus
ditumpas. Karena selama ini belum pernah sekalipun pencuri kerbau tertangkap.
Kapolsek enggan meninggalkan mobilnya, sehingga tidak menuruti
ajakan dari anak buahnya untuk melarikan diri. Dia kurang membaca situasi,
sebab itu adalah malam, dimana warga berada dibawah pengaruh (arak) tuak.
Akhirnya, warga mengeroyok Kapolsek Panribuan, Ajun Komisaris Polisi Andar Siahaan dan meninggal di tempat.
Kenapa Mereka Bisa Begitu Sadis?
Dari penjelasan di atas, operasi penangkapan juru tulis toto
gelap (togel) di Dolok Saribu pada malam hari itu adalah kurang tepat. Karena
sebuah desa yang sangat terpencil apabila menerima tamu yang tidak diundang dan
mencurigakan pastilah akan menimbulkan kegaduhan. Dan pada saat itu tingkat
kesadaran warga berkurang karena masih dibawah pengaruh arak (tuak), sehingga
emosinya naik dengan cepat.
Seperti apakah sosok polisi di benak warga desa yang terpencil?
Saya yakin di benak istri si juru tulis toto gelap itu, orang yang menangkap
suaminya bukanlah polisi. Karena orang kampung tidak pernah punya gambaran
seorang polisi berseragam preman. Bagi penduduk desa, seorang polisi itu pasti
berseragam dan membawa pistol.
Kalaupun seandainya mereka tahu bahwa itu polisi, bagaimanakah image polisi saat ini?
Kalau melihat pengalaman selama ini, desa ini sebenarnya tidak
butuh yang namanya polisi. Karena desa sudah punya perangkat atau aturan-aturan
yang merupakan buah dari kesepakatan bersama untuk digunakan menyelesaikan
setiap persoalan. Berurusan dengan polisi seminimal mungkin harus dihindari.
Keengganan masyarakat ini berurusan dengan polisi dapat dilihat
dari tidak adanya rasa ingin tahu masyarakat tentang siapa yang bertugas
mengayominya di tempat tinggalnya. Siapa Kapolsek yang ditugaskan di daerah itu,
berapa lama seorang Kalpolsek menjabat atau sudah berapa kali terjadi
pergantian Kalpolsek masyarakat tidak pernah ingin tahu.
Selain itu, asupan informasi ataupun pengalaman berurusan dengan
polisi warga adalah negatif. Berita tentang Jenderal Djoko Susilo yang ditahan
KPK karena kasus korupsi yang begitu dahsyat masih menjadi totonan masyarakat
sehari-hari. Cukup sakti juga memperburuk image polisi di mata warga.
Saya pribadi punya sebuah pengalaman ikut dalam sebuah
demonstrasi menuntut proses pemilihan rektor di kampus supaya mahasiswa
dilibatkan bukan hanya oleh senat universitas. Dikala pemilihan rektor
berlangsung di gedung rektorat, kami peserta aksi menunggu di bawah dengan
melakukan orasi-orasi. Kami merasa diacuhkan, sehingga setiap pintu keluar dari
gedung rektorat kami jaga dengan ketat supaya siapapun yang terpilih jadi
rektor harus bersedia menerima dan menandatangi tuntutan mahasiswa. Proses
pemilihan rektor telah selesai, salah seorang calon rektor yang kalah keluar
dengan cara menyamar memakai seragam Satpam. Ternyata penyamarannya tercium dan
ada yang mengenal. Dan tanpa diberi aba-aba massa pun memukulinya dan beruntung
dia masih bisa diselamatkan oleh Satuan Pengamanan kampus.
Sekelas mahasiswa pun mampu berbuat hal yang diluar kendali
dirinya dalam sekejap. Apalagi saudara-saudara saya yang baik itu.
Ini Kerinduan Kami
Sebagai seorang yang lahir dan menikmati kasih sayang di desa
itu, dan telah menganggap desa itu sebuah surga kecil, saya terharu menyaksikan
di televesi orang-orang baik yang tidak pernah berniat mengenal penjara itu
dilepas dengan tangis oleh sanak saudaranya ketika di gelandang oleh polisi.
Hati saya menjerit ketika media sepertinya kurang berimbang dalam membangun
opini masyarakat, dimana seolah-olah mereka itu manusia-manusia sadis, pembunuh
berdarah dingin. Saya tiba-tiba termenung dan tidak bisa berkata apa-apa ketika
seorang teman mengatakan mereka itu manusia-manusia biadab.
Oleh karena itu saya akan bersuara atas nama “kami”.
Kami adalah manusia yang buta akan hukum dan hidup mengajarkan
kami bahwa hukum itu kejam.
Hukum memang harus ditegakkan, tapi tolong ajari kami
memahaminya.
Tolong ajari kami mengenal apa arti seorang polisi.
Tolong ajari kami apa arti seorang jaksa.
Tolong ajari kami apa arti seorang pengacara.
Tolong ajari kami apa arti seorang hakim.
Tolong ajari kami apa arti seorang narapidana.
Tolong ajari kami apa arti penjara.
Hidup mengajarkan kami bahwa semua itu kejam, korup dan sadis.
Karena begitu kejamnya, kami tidak tahu bagaimana anak-anak kami
menghadapi dunianya dengan status sebagai anak seorang pembunuh, anak seorang
narapidana.
Bukan maksud kami untuk mengajari apa arti kehilangan, kami
hanya silap. Dan kami yakin rasa kehilangan kami akan kerbau-kerbau kami yang
lenyap tanpa jejak itu tidak ada apa-apanya dibanding rasa kehilangan yang kita
alami atas kepergian Bapak Kapolsek.
Kami siap menjalani hukuman ini, tapi sekali lagi tolong ajari
kami bahwa hukum dan perangkatnya memiliki arti bagi kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar